Kamis, 22 September 2011


PERAN KOPERASI DALAM  KONGLOMERASI SOSIAL

Oleh : Bartolomeus Budiman
Silverius Oscar Unggul (Onte) berkenan berpose bersama
Mengaitkan dua kekuatan ekonomi, koperasi dan konglomerasi sosial bagi sebagian besar orang  tampaknya tidak begitu popular, bahkan terkesan kontradiktif. Apalagi mengaitkan keduanya dalam hubungan kausal, seperti sebuah mimpi di siang bolong. Tetapi penulis optimistis, justru berawal dari mimpi semacam inilah kekuatan ekonomi  besar yang dibentuk dari, oleh dan untuk anggota kesejahteraan bersama niscaya terwujud.
Dalam penjelasan pasal 33 UUD 45 terdapat ungkapan seperti berikut, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Kemudian dijelaskan pula, bahwa hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang seorang.
Sedangkan penjelasan setelah pasal tersebut diamandemen (tahun 2002), antara lain menyebutkan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,

Saat ini kondisi sebagian kecil masyarakat telah mencapai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Namun atas nama kondisi perekonomian yang baik untuk sebagian kecil masyarakat ini sering diasumsikan sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dengan diperolehnya hitungan GNP per kapita. Padahal dalam kenyataannya, menurut catatan terakhir, ada 31 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. 

Ironisnya lagi, ada kelompok masyarakat yang benar-benar menikmati hasil pembangunan, bahkan total kekayaan telah mencapai puluhan triliunan rupiah (tahun 2011 ini ada orang Indonesia yang memiliki kekayaan senilai Rp 45 Triliun). Terpeliharanya stabilitas politik dan ekonomi yang mantap selama ini telah mendorong munculnya kelompok-kelompok trilyuner, milyarder dan jutawan.

Kelompok-kelompok tersebut mengalami peningkatan pendapatan lebih dari sepuluh kali lipat, bahkan mencapai ribuan kali lipat! Yang menjadi masalah ialah masih banyaknya kelompok masyarakat belum mampu meningkatkan pendapatan sampai dua kali lipat, dan masih banyak yang belum beranjak dari satu kali lipat. Disinilah letak pentingnya pencegahan melebar-nya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, yaitu melalui upaya pemerataan yang sesuai dengan rasa keadilan.

Konglomerat memiliki segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya yaitu jika terjadi pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Segi positif konglomerat antara lain mampu menembus pasar internasional, dengan demikian cukup berperan dalam upaya meningkatkan ekspor non-migas.

Konglomerat semestinya berbicara banyak dalam pasar global atau bisnis internasional, bukannya memonopoli pasar dalam negeri. Konglomerat juga diharapkan untuk membantu pengusaha menengah dan kecil dalam berpromosi. Konglomerat merupakan kelompok pembayar pajak yang cukup potensial, hal ini sangat menunjang untuk meningkatnya dana APBN.

Segi positif konglomerat yang lainnya ialah kemampuan dalam menangani proyek-proyek besar, karena keterbatasan dana pemerintah dan adanya iklim deregulasi. Konglomerat juga berperan dalam penyediaan lapangan kerja, ribuan perusahaan di lingkungan konglomerat mampu menyedot jutaan tenaga kerja, konglomerat juga berperan dalam pengembangan sistem manajemen modern, di mana produktivitas dan efisiensi perusahaan diharapkan mampu diterapkan pada perusahaan menengah dan kecil.
Namun bagaimanapun pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli, tetap harus diwaspadai, sebab berpotensi merugikan masyarakat. Padahal Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang, serta menjadikan koperasi sebagai bangun perusahaan yang paling sesuai. Beranjak dari sinilah pentingnya berbicara tentang peran koperasi kredit dalam konglomerasi social. Gagasan ini sama sekali tidak mengawang-awang.

Konglomerasi sosial.
Seperti halnya patron kong­lomerasi yang mengacu pada konsentrasi kepemilikan berbagai jenis usaha dari hulu hingga hilir, konglomerasi sosial dimaksudkan untuk mendatangkan keuntungan maksimal. Bedanya, dalam konglomerasi social ini keuntungan terdistribusi secara merata untuk kepenting­an masyarakat. Tidak seperti konglomerasi bisnis, di mana keuntungan terpusat dan hanya dinikmati beberapa orang saja.
Model konglomerasi yang dijabarkan pemuda asal Kendari yang akrab dipanggil Onte (39)  ini merupakan pengembangan dari apa yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun di tanah kelahirannya. Di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), misalnya, Onte berhasil mengangkat taraf hidup ribuan keluarga dengan cara mengajak masyarakat setempat membentuk koperasi sekaligus mendampingi mereka mengembangkan pengelolaan hutan secara lestari atau berkelanjutan.


Replikasi
Berkat Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) para penduduk sekitar hutan di Konawe Selatan yang bertahun-tahun menjadi bulan-bulanan cukong dan sering ditangkap aparat akibat pemba­lakan liar, kini telah menjadi “tuan” di tanahnya sendiri.
Pendapatan warga meningkat signifikan karena pengelolaan hutan secara lestari yang mereka terapkan membuat KHJL berhasil mendapatkan sertifikat ekolabel dari SmartWood of the Forest Stewardship Council. Sertifikat ini mendongkrak harga kayu KHJL di pasaran dunia, dan warga anggota koperasi pun mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Harga kayu warga yang semula sekitar Rp 600.000 per meter kubik, setelah mendapat sertifikat ekolabel menjadi Rp 6.500.000 per meter kubik.
Pada awal pembentukannya, di 2002, KHJL hanya beranggotakan tujuh keluarga dari ratusan keluarga yang ditawari. Setelah mereka tahu besarnya keuntungan yang diperoleh, kini jumlah anggotanya mencapai ribuan keluarga. Saat ini KHJL juga telah direplikasi dan dikembangkan di beberapa daerah pada 13 provinsi di Indonesia, antara lain di Kulon Progo (Yogyakarta), Purwokerto (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Lampung, Jambi, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.

Kedaulatan Rakyat
“Dalam sistem konglome­rasi sosial, komunitas setempatlah yang memiliki saham terbesar, baik komunitas yang tergabung dalam koperasi maupun kelembagaan masyarakat adat. Masyarakat setempat memegang saham minimal 60 persen,” papar Onte dalam presentasinya. Kata “minimal” diulang­nya berberapa kali, menekankan bahwa masya­rakatlah penerima manfaat terbesar dari sistem ini, bukan investor atau pun lembaga yang mendampingi mereka.
 

Menurut pemilik nama asli Silverius Oscar Unggul ini, tujuan dari konglomerasi sosial adalah tercapainya kehidupan rakyat yang sejahtera karena masyarakat berdaulat secara ekonomi dan politik serta dalam memperoleh informasi. Hal ini berarti berjalannya sistem demokrasi di bidang ekonomi, politik, dan pers.
Di Konawe Selatan, demokrasi di bidang ekonomi telah terwujud dalam diversifikasi kepemilikan dan pengolahan sumber daya alam, antara lain terkait tanaman jati. Sementara itu, demokrasi di bidang pers telah terwujud dalam diversifikasi kepemilikan media massa dan isi berita melalui kehadiran Radio Swara Alam dan Kendari TV.
 

Keberadaan media radio dan televisi ini, di samping menjadi media ekspresi warga setempat juga digunakan Onte dan kawan-kawannya untuk sarana mengampanyekan pe­ngelolaan hutan lestari, termasuk menyoroti kasus perusak­an hutan dan pembalakan liar. Oleh karena warga berpartisipasi dan memiliki andil membangun keduanya, radio dan televisi lokal ini pun kini makin po­puler di Kendari.  

Keuntungan Bertingkat
Masyarakat Sultra yang tergabung dalam KHJL adalah pemilik 60 persen saham perusahaan kayu PT Kayu Jaya Lestari (KJL). Melalui kepemilikan saham di perusahaan ini, masyarakat anggota koperasi mendapat keuntungan ber­tingkat, yakni keuntungan dari harga premium saat mereka menjual kayunya ke koperasi, ditambah keuntungan sebagai anggota koperasi yang memperoleh sisa hasil usaha (SHU).  Keuntungan berlipat ini tidak berhenti sampai di situ. Dalam model konglomerasi yang dibuat Onte, PT KJL merupakan pemegang saham perusahaan berskala nasional bernama PT GI sehingga keuntungan masyarakat dapat bertambah lagi dari SHU atas kepemilikan PT KJL di PT GI.

Apakah keuntungan berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Saat ini sistem kepemilikan bertingkat yang diterapkan KHJL, PT KJL, dan PT GI coba dibangun Onte di Kamerun dan Brasil. Efek berikutnya adalah ketiga perusahaan berskala nasional yang saham terbesarnya milik masyarakat itu dapat bergabung menjadi sebuah konglomerasi yang memiliki toko-toko bersama. Keuntung­an tambahan yang diperoleh masyarakat anggota koperasi di Indonesia, Kamerun, dan Brasil pun kelak tentu bertambah dari hasil penjualan produk di toko-toko tersebut. “Inilah yang dinamakan konglomerasi sosial,” tutur Onte dalam presentasinya di Hotel Aston Denpasar, tempat berlangsungnya Lokakarya Nasional dan Ratnas Inkopdit, 13 – 17 Mei 2011 yang lalu.
 

Menurut Maria R Nindita Radyati PhD dari Universitas Trisakti, Onte adalah seorang wirausaha sosial sejati yang berhasil mengatasi persoalan sosial di Konawe Selatan terkait pembalakan liar.
KHJL yang dibentuknya bersama Tim Yascita telah berkontribusi signifikan pada pengentasan kemiskinan. Kontribusinya tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial. Masyarakat kini memiliki rasa aman akan masa depan mereka, termasuk masa depan anak-anak mereka. Melalui usaha jati mereka yang dikelola secara lestari, mereka kini dapat menabung untuk pendidikan anak-anak mereka. Tidak hanya itu, kesehatan mereka juga lebih terjamin berkat meningkatnya kemampuan memeiksakan kesehatan secara berkala.

Demikian betapa pentingnya peran koperasi dalam upaya konglomerasi social. Koperasi bisa bergerak bebas dengan arah yang jelas merangkul berbagai pihak untuk bersama-sama meningkatkan kesejahteraan bersama. Koperasi menjadi motor dalam menciptakan gaya hidup yang baru, yakni lebih berorientasi pada kehidupan jangka panjang, ketimbang kepentingan ekonomi jangka pendek. Pada umumnya demi kepentingan ekonomi jangka pendek orang rela merusak alam atau apa pun yang ada di dalamnya tanpa memikirkan akibat social yang ditimbulkannya kelak di kemudian hari. Tanpa disadari perilaku short-termisme akan mewariskan kemiskinan mutlak bagi anak-cucu di masa dating. Oleh karena itu, mari melakukan yang terbaik melalui koperasi yang kita cintai. Seperti slogan, bersama kita bisa, itu akan menjadi kenyataan. Semoga…**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar